Tiga Sekawan dan Gunung Argopuro

Sumber: littlenomadid.com

Antonius, Ilham, dan Wayan adalah tiga sekawan yang dipertemukan di salah satu Universitas terkemuka di Bandung. Walaupun ketiganya berbeda agama, Antonius beragama khatolik, Ilham beragama isalam sedangkan Wayan beragama Hindu, tetapi mereka dapat menghargai satu sama lain dan bersahabat di dalam keadaan Indonesia yang mempunyai keragaman,salah satunya keragaman agama. Dan yang menjadi keunikan, mereka mempunyai hobi yang sama yaitu mendaki gunung. Suatu ketika,  mereka libur semester, dan ketiganya sepakat untuk mengisi liburannya dengan mendaki gunung .

“Bagaimana kalau ke gunung Semeru?” usul Antonius.

“Jangan. Mending ke gunung Bromo” bantah Wayan.

“Keduanya menarik, jadi mau kemana nih?” ucap Ilham.

“SemmBromemoru” ucap keduanya.

“Kalau begitu kita ambil jalan tengahnya. Jadi menurut kabar dari temanku di Jawa Timur selain ada gunung Semeru dan Gunung Bromo, adapula gunung Argapuro.”

“Arguporo?” nama yang asing untuk Wayan.

“’Iya. Kebanyakan orang di luar Jawa Timur tidak begitu mengenalnya. Tetapi, menurut temanku yang pernah kesana, di sana tersimpan banyak cerita unik dan mistis.”

“Waw kedengarannya menarik. Boleh juga Ham.” ucap Wayan dengan semangat.”

“Iya boleh juga. Kalau begitu kita kesana saja.” ucap Antonius.

Ilham mengacungkan jempolnya

***

Tiga sekawan itu menggunakan kereta menuju Jawa Timur. Kurang lebih satu hari perjalanan untuk sampai di Jawa Timur. Ketika tiba disana, mereka menuju sebuah desa di Jawa Timur yaitu Desa Widoro Payung. Dari sanalah mereka memulai perjalanan. Sebelum memulai pendakian mereka melapor ke kantor BKSDA untuk dicek standarisasi perlengkapan yang dibawa

“Ham, kamu yakin banyak yang menarik di gunung ini?” ragu Wayan.

“Kita buktikan saja, lagi pula kita belum tahu dengan kepala mata kita sendiri.”

Pendakian diawali dengan mengelilingi perbukitan di sekitar gunung Argopuro. Mereka melewati hutan-hutan kecil dan juga terdapat gubuk-gubuk kecil. Mereka menyapa seorang kakek dan nenek yang sepertinya sepasang suami istri yang sedang beristirahat di gubuk itu. Dari perlengakapan yang kakek dan nenek itu bawa sepertinya mereka sudah merawat perkebunan tembakau di perbukitan.

“Permisi kek..nek..”

Kakek dan nenek hanya tersenyum lebar sehingga gigi ompongnya terlihat sangat jelas.

Setelah melewati perbukitan, hutan-hutan kecil, dan sabana-sabana kecil sampailah mereka di sebuah sabana yang sangat luas.

“Waw luas sekali.” kagum Wayan

“Tapi miris sekali aku melihatnya, berserakan puing-puing bangunan dimana-mana.” ucap Antonius.

“Sepertinya puing-puing ini mempunyai nilai sejarah tersendiri.” tebak Wayan.

“Betul Yan. Konon, dulu sabana ini digunakan oleh Belanda untuk dijadikan lapangan udara yang sebenarnya Belanda mempunyai maksud lain karena mereka ingin mengambil kekayaan emas di gunung ini. Dan kalau dari kejauhan puing-puing bersejarah ini terlihat seperti kasur dan karena itulah sabana ini disebut Cikasur.” jelas Ilham  sudah seperti pemandu gunung Argopuro.

Wayan dan Antonius mengangguk-angguk mengerti.

Tiba-tiba Wayan menunjuk ke arah bawah “Ehh liat itu, ada sungai, airnya jernih sekali. Dan liat di pinggir-pinggirnya tumbuh selada air.”

“Turun kesana yuk kawan.” ajak Antonius semangat.

“Sebaiknya nggak usah deh. Perjalanan masih panjang.Lebih baik kita lanjutkan perjalanan Yuk. Lagian kalian tahu tidak kalau di sini ada hutan terlarang yang dijadikan tempat pemandian Dewi Rengganis.”

“Siapa Dewi Rengganis?” kompak Wayan dan Antonius.

“Nanti kalian akan lebih tahu setelah melanjutkan perjalanan.”

Mereka bertiga kembali berjelajah. Kali ini mereka sampai di sebuah pos Cisentor. Di sana terdapat perpondokan yang digunakan untuk beristirahat pendaki. Terdapat juga aliran air jernih. Ilham, Antonius, dan Wayan mengambil air dengan kedua tangannya dan membasuhkan ke wajah.

“Wahhh segarnya” ucap Antonius sambil mengibaskan poninya yang basah terkena air.

“Kalau tidak salah, setelah ini kita akan sampai di Rawa Embik.” ucap Ilham.

“Yuk lanjut.” ajak Wayan.

Sampailah mereka di Rawa Embik. Tanpa berkata-kata Wayan segera memetik bunga Edelweis yang tumbuh di Rawa tersebut. Satu keunikan dari ketiga sahabat ini, jikalau mereka menemukan bunga Edelweis di gunung yang mereka mendaki, mereka harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena bagi mereka bunga Edelweis adalah salah satu keindahan di sebuah gunung. Cukup dengan anggukan dari Ilham, mereka langsung duduk, memejamkan mata, dan berdoa sesuai kepercayaan kepada Tuhannya masing-masing. Setelah selesai berdoa, perjalanan dilanjutkan. Sampailah di puncak tertinggi gunung Argopuro.

Mereka terkejut bukan main ketika melihat dua puncak yang berdiri gagah bersebelahan.

“Ini puncak kembar Ham?” tanya Antonius sambil membelalakan matanya.

“Betul Nius. Aku tidak membayangkan sebelumnya kalau keduanya benar benar sama.” kagum Ilham.

“Nama puncak ini apa Ham?” tanya Antonius.

“Namanya puncak Rengganis dan puncak Argopuro.

“Kalau begitu kita ke puncak Rengganis dahulu Ham?” tanya Wayan

“Iya. Yuk!”

Mereka sampai di puncak Rengganis.

“Bau belerangnya tajam sekali.” Antonius menutup hidungnya.

“Nius, Wayan mana?” panik Ilham.

Kedua mata Ilham dan Antonius sibuk mencari keberadaan Wayan.

Tiba-tiba dari sebelah barat terdengar teriakan Wayan.

“Heiiiiiiiiii aku di sini.” sambil melambaikan tangan.

Ilham dan Antonius segera berlari ke arah Wayan.

“Ngapain kamu Yan, jangan bertingkah aneh kalau sedang di alam.” kesal Antonius.

“Lihat kawan, tumpukan batu ini mirip kuburan dan lihat puing-puing ini seperti puing-puing sebuah kuil”

Antonius meniru Wayan yang sibuk meraba-raba tumpukan batu dan puing-puing itu sedangkan Ilham terfokus pada selembar kertas yang tergeletak di tanah satu meter di depannya, Ilham segera mengambil kertas itu dan membaca tulisan yang tersirat di kertas tersebut.

“Di pucak Rengganis terdapat kuil yang menjadi petilasan Dewi Rengganis dan para dayangnya ketika melarikan diri.”

Mendengar kalimat di kertas itu sekejap Antonius dan Wayan melirik satu sama lain.

“Berarti ini bekas kuil Dewi Rengganis Yan.” kaget Antonius.

Antonius dan Wayan segera menjauhi puing-puing itu dan mendekati Ilham ikut membaca kalimat di kertas itu.

“Siapa saja yang sampai pada puncak Rengganis dan meminta sebuah permohonan, maka permintaannya akan dikabulkan.”

“Pasti itu hanya mitos Ham” tepis Antonius

“Entahlah. Eh liat di balik kertas ini masih ada kalimat. Sebentar aku baca dulu.”

“Konon sampai saat ini Dewi Rengganis masih hidup dan diperkirakan umurnya sudah ratusan tahun” Ilham membaca kalimat terakhir di kertas itu.Dan tiba-tiba kertas itu terbang sangat jauh, padahal waktu itu angin berhembus tidak kencang

Di saat Ilham dan Antonius heran kenapa kertas itu terbang sangat jauh,berbeda dengan Wayan yang hanya memejamkan mata tanpa kata.

Antonius menyenggol lengan Wayan “Woy ngapain sih?”

Wayan membuka matanya dan menjawab pertanyaan Antonius.

“Aku meminta sebuah permohonan. Siapa tahu kalimat di kertas itu benar adanya.”

Antonius tertawa lepas mentertawakan tingkah Wayan. Sedangkan Ilham penasaran dengan permohonan Wayan.

“Emangnya apa yang kamu pinta?”

“Aku meminta agar kita bertiga terus dipersatukan.Cukup itu Ham”

Mendengar perkataan Wayan, Antonius berhenti tertawa dan memeluk Wayan begitupun Ilham. Suasana menjadi mengharukan. Walaupun begitu mereka tersadar harus segera melanjutkan perjalanannya. Ketika mereka semangat untuk melanjutkan perjalanan. Tiba- tiba Antonius terjatuh dan berteriak.

“Nius, kamu kenapa?” panik Ilham.

Wayan segera membantu Antonius untuk berdiri.

“Awww sakit Yan. Kaki sebelah kananku sakit banget.”

Wayan dan Ilham segera melirik kaki kanan Ilham.

“Astagfirullah, kaki kamu berdarah Nius. Wayan keluarkan kotak P3K!”

Wayan mengobrak-abrik tasnya “Gawat Ham, sepertinya aku lupa bawa kotak P3K”

“Aduh kamu ini bagaimana sih.”

“Ham itu ada kain. Pakai itu saja untuk menghentikan darahnya.” tunjuk Wayan pada kain berwarna merah yang tersangkut di ranting.

“Yasudah cepat ambil!”

Sebelum tangan Wayan sampai meraih kain itu tiba-tiba seorang kakek memakai tongkat dan berjenggot panjang menghampiri Wayan.

“Jangan nak. Jangan sekali-kali mengambil satu barangpun yang ada disini. Akan ada akibatnya. Ingat itu nak” ucap si kakek dan pergi begitu saja.

“Tapi Kek…”

“Wayan. Balik kesini!” perintah Ilham

Wayan tidak jadi mengambil kainnya.

“Pakai apa dong Ham?” bingung Wayan.

Tanpa basa-basi Ilham menggunting lengan bajunya dan mengikatkan pada luka di kaki Antonius. Setelah selesai Ilham dan Wayan membantu Antonius untuk berdiri.

“Aww aku ngga kuat berdiri.”

“Sepertinya kita harus bermalam disini, soalnya sebentar lagi hari gelap. Besok pagi kita lanjut untuk turun kebawah setelah luka Antonius sudah baikan.”

“Tapi kamu ingat kata kakek tadi kan Ham.”

“Kakek tadi bilang kalau kita tidak boleh mengambil bagian apapun di tempat ini, tapi bukan berarti kita dilarang bermalam disini kan”

Wayan mengangguk tanda mengerti. Dan akhirnya mereka harus bermalam di sana. Barulah keesokan harinya mereka akan melanjutkan perjalanan. Hari pun mulai terang.

Antonius yang terbangun terlebih dahulu kagum dengan keindahan yang dia lihat saat itu

“Ilham, Wayan, ayo bangun dan lihat itu!”

Mendengar teriakan Antonius, mereka terbangun.

“Lihat kawan, dari sini terlihat jelas matahari terbit.” kagum Ilham

“Dan Lihat, kita juga bisa lihat Gunung Semeru.” tambah Antonius.

Mereka berdiri tegap melihat keindahan-keindahan alam pagi hari itu. Dengan  berpegangan pada kedua sahabatnya, Antonius tidak mau ketinggalan.

“Nius, sudah baikan?” tanya Wayan

“Lumayan Yan. Kita bisa lanjut perjalanan sekarang.”

“Bener sudah kuat jalan?” tanya Ilham

Antonius mengangguk.

“Baik pasukan, sudah siap untuk lanjut?”

“Siap komandan.” serentak Wayan dan Antonius.

Setelah bermalam di puncak Rengganis dan melewati puncak Argopuro kini saatnya mereka untuk menuruni gunung.

“Satu yang perlu diperhatikan, walaupun menuruni gunung tetapi kita harus melewati gunung dahulu, namanya gunung Cemara Lima. Dan kita akan bertemu dengan puncak Cemara Lima.” jelas Ilham.

Seperti biasa Antonius dan Wayan hanya mengangguk. Sebelum sampai di gunung Cemara Lima, mereka akan melewati daerah Aeng Kenek yang artinya air kecil.

“Coba lihat di depan kawan. Ada sungai. Kita bisa minum disana.”

Mereka bertiga berlari dengan semangat, seakan-akan Antonius lupa terhadap luka kakinya. Tidak berlama-lama mereka langsung minum air sungai yang jernih itu.  Antonius membuka ikatan lukanya dan membasuh lukanya yang berlumuran darah yang sudah hampir kering dengan air sungai. Sesekali dia mengerenyit kesakitan. Sementara Ilham dan Wayan sibuk mengisi jiligen dengan air sampai penuh. Setelah semuanya selesai, mereka semua bersiap  menuju puncak Cemara Lima. Dilanjutkan kembali dengan menuruni puncak Cemara Lima menuju sebuah Danau yang dinamakan Danau Taman Hidup. Sesampainya di kawasan Danau Taman Hidup, mereka merebahkan tubuh dengan berbaring menghadap langit. Mereka begitu menikmati kesegaran Danau Taman Hidup. Di sekeliling Danau Taman Hidup adalah rawa.

“Teman kamu bercerita apa tentang danau ini Ham?” tanya Antonius yang memejamkan matanya.

“Pasti menyangkut Dewi Rengganis itu lagi deh.” ucap Wayan

“Betul sekali permisa.” jawab Ilham sedikit bercanda

“Tuh apa aku bilang. Eksis banget Dewi Rengganis.” ceplos Wayan

“Husss dijaga kalau ngomong Yan.” ucap Antonius.

Wayan dengan repleks menutup mulutnya dengan tangan.

Ilham mulai bercerita “Menurut cerita Danau Taman Hidup ini salah satu tempat yang disukai Dewi Rengganis dan dayang-dayangnya. Dan katanya para pendaki lelaki yang datang kesini akan tergoda untuk mandi disini.”

Mendengar penjelasan Ilham, Antonius dan Wayan segera menengok kearah Ilham dengan tatapan antara takut dan penasaran.

“Apa kalian tergoda?” tanya Ilham

Antonius dan Wayan menggelengkan kepalanya.

“Apa kalian percaya sebentar lagi kita akan tergoda?” Ilham kembali bertanya.

Tak ada respon dari keduanya.

“Apa kalian ingin pergi dari sini sekarang juga?”

Antonius dan Wayan mengangguk dengan semangat.

“1…2…3…”

Setelah hitungan ketiga mereka bertiga berlari sambil tertawa lepas. Setelah keluar dari kawasan Danau Taman Hidup mereka menuju Desa Bermi sebelum sampai pada akhir perjalanan di daerah Pajarakan. Ketika hampir sampai di Desa Bermi, terlihat pemandangan berupa bukit dan sawah. Sesampainya di Desa Bermi mereka bertiga segera melapor ke pos polisi.Dan Setelah selesai melapor, mereka mengguna jasa ojek untuk sampai di daerah Pajarakan. Tukang ojek yang ditumpang Antonius bercerita kalau di daerah Pajarakan terdapat tanah merah. Dan kalau kita menginjak tanah tersebut  kulit kita berubah menjadi biru.

“Kok bisa begitu Pak?” tanya Antonius penasaran.

“Saya juga tidak tahu asal-usul nya mas. Kalau mas mau kesana saya bisa antar.”

kata tukang ojeg dengan logat Jawanya yang kental.

“Oh tidak usah Pak. Lanjut saja.”

Sesampainya di Pajarakan. Mereka berencana mencari penginapan untuk satu hari dan baru esok harinya mereka akan kembali ke Bandung

By: Sri Maria
4 Maret 2013

Tidak ada komentar